Rabu, 02 September 2009

BUKU HARIAN AYAH

Buku Harian Ayah

Ayah dan ibu telah menikah lebih dari 30 tahun, saya sama sekali tidak pernah melihat mereka bertengkar.

Di dalam hati saya, perkawinan ayah dan ibu ini selalu menjadi teladan bagi saya, juga selalu berusaha keras agar diri saya bisa menjadi seorang pria yang baik, seorang suami yang baik seperti ayah saya.

Namun harapan tinggallah harapan, sementara penerapannya sangatlah sulit. Tak lama setelah menikah, saya dan istri mulai sering bertengkar hanya akibat hal-hal kecil dalam rumah tangga.

Malam minggu pulang ke kampung halaman, saya tidak kuasa menahan diri hingga menuturkan segala keluhan tersebut pada ayah.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ayah mendengarkan segala keluhan saya, dan setelah beliau berdiri dan masuk ke dalam rumah.

Tak lama kemudian, ayah mengusung keluar belasan buku catatan dan ditumpuknya begitu saja di hadapan saya.

Sebagian besar buku tersebut halamannya telah menguning, kelihatannya buku? buku tersebut telah disimpan selama puluhan tahun.

Ayah saya tidak banyak mengenyam pendidikan, apa bisa beliau menulis buku harian? Dengan penuh rasa ingin tahu saya mengambil salah satu dari buku-buku itu.

Tulisannya memang adalah tulisan tangan ayah, agak miring dan sangat aneh sekali, ada yang sangat jelas, ada juga yang semrawut, bahkan ada yang tulisannya sampai menembus beberapa halaman kertas.

Saya segera tertarik dengan hal tersebut, mulailah saya baca dengan saksama halaman demi halaman isi buku itu.

Semuanya merupakan catatan hal-hal sepele, "Suhu udara mulai berubah menjadi dingin, ia sudah mulai merajut baju wol untuk saya." "Anak-anak terlalu berisik, untung ada dia."

Sedikit demi sedikit tercatat, semua itu adalah catatan mengenai berbagai macam kebaikan dan cinta ibu kepada ayah, mengenai cinta ibu terhadap anak-anak dan terhadap keluarga ini.

Dalam sekejap saya sudah membaca habis beberapa buku, arus hangat mengalir di dalam hati saya, mata saya berlinang air mata.

Saya mengangkat kepala, dengan penuh rasa haru saya berkata pada ayah "Ayah, saya sangat mengagumi ayah dan ibu."

Ayah menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak perlu kagum, kamu juga bisa."

Ayah berkata lagi, "Menjadi suami istri selama puluhan tahun lamanya, tidak mungkin sama sekali tidak terjadi pertengkaran dan benturan? Intinya adalah harus bisa belajar untuk saling pengertian dan toleran.

"Setiap orang memiliki masa emosional, ibumu terkadang kalau sedang kesal, juga suka mencari gara-gara, melampiaskan kemarahannya pada ayah, mengomel.
Waktu itu ayah bersembunyi di depan rumah, di dalam buku catatan ayah tuliskan segala hal yang telah ibumu lakukan demi rumah tangga ini.

Sering kali dalam hati ayah penuh dengan amarah waktu menulis kertasnya dan sampai sobek akibat tembus oleh pena. Tapi ayah masih saja terus menulis satu demi satu kebaikannya, ayah renungkan bolak balik dan akhirnya emosinya juga tidak ada lagi, yang tinggal semuanya adalah kebaikan dari ibumu."

Dengan terpesona saya mendengarkannya. Lalu saya bertanya pada ayah, "Ayah, apakah ibuku pernah melihat catatan-catatan ini?"

Ayah hanya tertawa dan berkata, "Ibumu juga memiliki buku catatan. Dalam buku catatannya itu semua isinya adalah tentang kebaikan diriku.

Kadang kala di malam hari, menjelang tidur, kami saling bertukar buku catatan, dan saling menertawakan pihak lain. ha. ha. ha."

Memandang wajah ayah yang dipenuhi senyuman dan setumpuk buku catatan yang berada di atas meja, tiba-tiba saya sadar akan rahasia dari suatu pernikahan:

"Cinta itu sebenarnya sangat sederhana, ingat dan catat kebaikan dari orang
lain. Lupakan segala kesalahan dari pihak lain."

SEJARAH PERJUANGAN MONE MOLA PERLU DILURUSKAN

Masyarakat Sabu-Raijua khususnya tokoh adat dan pemerhati budaya Sabu di Kecamatan Hawu Mehara menyikapi dan mengkritisi buku Sejarah Perjuangan Mone Mola Melawan Belanda di Sabu Kabupaten Kupang yang ditulis tim peneliti sejarah dan budaya Sabu yang terdiri dari delapan orang.
Sebagai penanggungjawab yakni Sixtus Tey Seran, ketua, Alexander Bell dan sekertaris, Hendrik Boenga yang dilengkapi lima anggota tim yakni, Gabriel Nua Sinu, Jacob Riwu, Markus Tae, Ali Rofinus dan Jamika Sula.

Buku sejarah perjuangan Mone Mola melawan penjajah Belanda tahun 1914 di wilayah kevetoran Mahara dalam struktur pemerintahan adat Mone Ama yang dikenal dengan nama Ratu Mone Pidu di pulau Sabu (sekarang Kecamatan Hawu Mehara, red) yang diterbitkan unit pelaksana tehnis dinas (UPTD) Arkeologi, kajian sejarah dan nilai tradisionil Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT tahun 2007, akhirnya mendapat tanggapan serius dari tokoh adat Hawu Mehara.

Hal itu diungkapkan tokoh adat dan pemerhati budaya Sabu, Ruben Mangngi yang berdomisili di Kelurahan Airnona Kecamatan Oebobo Kupang yang mendatangi Timor Express di Seba-Sabu Barat belum lama ini. Menurut Mangngi, dengan terbitnya buku sejarah perjuangan dan budaya Sabu, sangat positif, selain untuk melestarikan budaya bangsa, juga sebagai sejarah/muatan lokal (mulok) yang menjadi mata pelajaran mulok ditingkat sekolah dasar (SD).

Perlu dipelajari, menggali dan melestarikan kearifan lokal di setiap daerah. Kata Mangngi, dari satu sisi sebagai mata pelajaran mulok, sangat positif karena menambah khasanah resensi buku sejarah dan budaya Sabu di NTT, tetapi kalau ditinjau dari isi buku tersebut masih banyak kelemahannya. Termasuk struktur adat budaya Sabu perlu diketahui dan pelaku sejarah harus dipahami.

Sebab, buku sejarah perjuangan Mone Mola setebal 102 halaman itu terdapat 18 kesalahan fatal yakni halaman 4, 8, 10, 13, 15, 30, 46, 60, 68, 69, 71, 72, 74, 77, 79, 80, 82 dan 84 yang harus segera diperbaiki. Sehingga, isi buku tersebut tidak menyimpang dan kerancuan sejarah karena nilai-nilai luhur adalah kepribadian bangsa yang majemuk, tetapi satu dalam kesatuan negara Republik Indonesia.

Dikatakan, seperti upacara/ritual adat Uri dilaksanakan pada malam hari dirumah adat Due Duru di Kolorae yang dipimpin Deo Rai bersama Mone Ama Doheleo dan Pulodo Muhu. Sedangkan, upacara Dhami Boro yang dipimpin Mone Ama Rue yaitu upacara perang dilaksanakan pada pagi hari.

Pemerintahan tinggi di Sabu adalah deo ama yang sama artinya, dengan Tuhan dan bukan dewa tertinggi. Sebab, dalam kepercayaan Jingitiu, agama suku masyarakat Sabu-Raijua tidak mengenal adanya dewa tertinggi atau dewa rendah. Untuk menjalankan roda pemerintahan dibumi (pulau Sabu dan Raijua, red) dibawah pimpinan Mone Ama sesuai versi masing-masing daerah.

Seperti daerah Habba (Seba), Menia, Mahara (Hawu Mehara), LiaE (Sabu LiaE), Dimu (Sabu Timur) dan Raijua, jumlah Mone Ama berbeda. Khusus di Mahara, struktur Mone Ama adalah Deo Rai dan Rue merupakan pimpinan tertinggi, Pulodo Wadu, Doheleo, Maja, Pulodo Muhu dan Raga Dimu. Ketujuh Mone Ama tersebut merupakan satu kesatuan dalam pemerintahan adat di Mahara yang disebut Ratu Mone Pidu.

“Karena itu, saya mengharapkan kepada para tim penyusun sejarah perjuangan Mone Mola di Sabu dapat merevisi atau memperbaiki isi buku tersebut supaya sejarah Sabu tidak rancu dan menyimpang.

Tim penyusun buku ini harus membuka sebuah seminar pelurusan sejarah perjuangan Mone Mola di Mahara-pulau Sabu bertempat di Seba untuk menjaring satu persepsi kesepakatan, setelah itu baru digelar lagi satu seminar di Kupang untuk menyempurnakan satu pemahaman sejarah,” harap Mangngi.

Ditempat terpisah, kepala Desa Molie Kecamatan Hawu Mehara, Ruben Aga Ludji membenarkan, supaya sejarah perjuangan Mone Mola tidak mengalami banyak persepsi, sudah saatnya tim penyusun dari UPTD Arkeologi, Kajian Sejarah dan Nilai Tradisionil Dinas P dan K Provinsi NTT harus melaksanakan sebuah seminar tentang sejarah perjuangan Mone Mola dan masalah adat Hawu Mehara dalam pemerintahan Mone Ama yang disebut dengan satu nama yakni Ratu Mone Pidu.

AGAMA SUKU SABU

AGAMA SUKU SABU

I. Pendahuluan (Latar Belakang).
Sabu secara geografis merupakan salah satu pulau di wilayah Propinsi Nusa tenggara Timur (121045 dan 12204, Belahan Barat; 10027 dan 10038, Lingkaran Selatan) Yang terletak secara terndiri di tengah Laut Sawu. Menyebut Sabu maka tidak telepas dengan sebuah pulau kecil didekatnya yankni pulau Raijua. Jadi keduanya adalah satu kesatuan baik mengenai adat maupun keturunan walaupun berbeda pulau.
Dalam Kehidupan Orang Sabu khususnya dalam kehidupan religi tidak terlepas kaitannya dengan aspek kehidupan lain yakni bidang, ekonomi sosial dan budaya atau adat istiadat. Hal ini bermula dari pandangan bahwa semuanya harus didasarkan pada keselarasan dengan agama suku, atau atas pandangan bahwa segala sesuatu adalah merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa (Deo Mone Ae) sehingga segalanya harus dilakukan dalam suasan yang religi dalam kehidupan. Dalam segala segi kehidupan, setiap kegiatan-kegiatan selalu diawali dengan ritual-ritual dengan maksud memohon bimbingan, petunjuk, berkat serta penjagaan dari Deo.
Dalam Tulisan ini saya coba menulis mengenai Agama Suku Sabu yang lebih menekankan pada Penyelenggaraan serta pemahaman yang ada di wilayah Seba (Habba). Hal ini disebabkan karena pada beberapa daerah lain dI Sabu yang memiliki corak-corak yang agak berlainnan, walaupun tidak signifikan namun dimaksud agar tidak terjadi salah pengertian dari pihak lain. Di samping itu juga kebetulan saya adalah salah seorang dari keturunan Sabu yang leluhur berasal dari wilayah Habba (Namata), yang mungkin sedikit lebih mengenal tentang peristiwa, penyelenggaraan Agama Suku Sabu di Habba. Tulisan ini didasarkan atas pengalaman, beberapa buku refrensi dan ceritra orang tua (leluhur).

II. Tentang Daerah Asal Orang Sabu (Sejarah).
Tentang asal usul orang Sabu dan negeri asalnya, terdapat beberapa versi menurut ceritera beberapa orang Mone Ama dan mereka mengetahui tentang sejarah Sabu. Meskipun demikian, dari tuturan mereka itu terdapat satu kesimpulan yang sama bahwa nenek-moyang orang Sabu berasal dari suatu negeri yang sangat jauh, letaknya di ufuk Barat pulau Sabu.
Sejarah dunia memberitahukan bahwa antara abad ke-3 sampai abad ke-4 ada arus perpindahan penduduk yang cukup banyak dari India Selatan, ke kepualauan Nusantara. Perpindahan penduduk itu disebabkan karena pada kurun waktu terjadi peperangan yang berkepanjangan di India Selatan, Raja Chandragupta II yang memerintah di India Utara dari tahun 375-413 telah menyerang dan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil, teramasuk kerajaan Gujarat di India Selatan. Keamanan yang buruk telak mendorong orang untuk mencari daerah pemukiman baru yang lebih aman.
Jauh hari sebelumnya, telah tersebar berita bahwa di kepulauan Nusantara, di mana pengaruh India sudah semakin besar, adalah negeri yang aman, tenteram dan makmur. Maka terbitlah dorongan kuat diantara penduduk untuk meninggalkan negeri asalnya menuju negeri baru yaitu kepulauan Nusantara.
Dari syair-syair kuno dalam bahasa Sabu dapat diperoleh informasi sejarah mengenai negeri asal dari leluhur Sabu. Syair-syair itu mengungkapkan bahwa negeri asal orang Sabu terletak sangat jauh di seberang laut di sebelah Barat yang bernama Hura. Dalam peta India memang terdapat Kota Surat di Wilayah Gujarat, India Selatan. Kota Surat terletak di sebelah Kota Bombay, teluk Cambay, India Selatan. Daerah Gujarat pada waktu itu sudah di kenal di mana-mana sebagai pusat perdagangan di India Selatan. Kota dangang yang terkenal adalah Koromandel.
Orang Sabu tidak dapat melafalkan kata Surat dan Gujarat itu sebagaimana mestinya. Lidah mereka menyebutnya Hura.
Sebelum perpindahan penduduk itu, antara abad ke 2-3 sudah terjalin hubungan perdagangan antara kepulauan Nusantara dengan pedagang-pedagang dari India Selatan. Pengaruh India Selatan besar sekali terhadap kepualauan Nusantara. Pada abad ke-2 sampai abad-16 telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, mula-mula di Jawa, kemudian di Sumatera dan Kalimantan. Dari antara kerajaan-kerajaan itu yang paling terkenal dan paling besar pengaruhnya di kepulauan Nusantara adalah kerajaan Majapahit. Sisa-sisa pengaruhnya masih dapat ditemui di kalangan masyarakat Sabu.
Para pendatang dari Gujarat ini ketika tiba di pula Raijua dapat hidup bersama dengan para imigran yang berasal perpindahan penduduk gelombang kedua yang berasimilasi dengan imigran gelombang pertama, meskipun pengaruh mereka tampak dominan.
Menurut ahli sejarah sebelum India Selatan, Nusantara sudah dihuni oleh Austronesia kira-kira 2000 SM. Kemudian disusul ras Mongoloid, lewat Muangthai, Malasyia Barat dan menyebar di Nusantara, kira-kira 500 SM.
Rombongan India Selatan menjadi penghuni pertama pulau Raijua di bawah pimpinan Kika Ga. Setelah kawin mawin mereka kemudian menyebar di pulau Sabu dan Raijua menjadi cikal bakal orang Sabu.

III. Pengaruh Majapait (Hindu-Jawa).
Pada abad ke 14 sampai awal abad ke 16, Majapahit berhasil menguasai dan menyatukan Nusantara. Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu-Jawa. Meskipun demikian setiap kerajaan di bawah kekuasaanya memiliki otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah-tangganya dengan satu persyaratan yakni tetap mengakui kedaulatan Majapahit lewat pemberian upeti. Bukti pengaruh Majapahit terhadap Sabu dapat dilihat dalam:
a. Mitos (ceritra rakyat) yang meberikan penghormatan terhap raja Majapahit. Sehingga muncul ceritra bahwa Raja mjapahit dan istrinya pernah tinggal di Ketita di pulau Raijua dan pulau Sabu.
b. Ada kewajiban bagi setiap rumah tangga untuk memelihara babi yang setiap saat akan dikumpul untuk dipersembahkan kepada Raja Majapahit.
c. Ada batu peringatan untuk Raja Majapahit yang disebut wowadu Maja dan sebuah sumur Maja di wilayah Daihuli dekat Ketita.
d. Setiap 6 tahun sekali ada upacar yang diadakan oleh salah satu Udu di Raijua, Udu Nadega yang diberi julukan Ngelai yang menurut ceritra adalah keturunan orang-orang Majapahit.
e. Motif pada tenunan selimut orang Sabu yang bergambar Pura.
f. Di Mesara ada desa yang bernama Tanah Jawa yang penduduknya mempunyai profil seperti orang Jawa. Sedangkan di Mesara juga ada tempat dekat pelabuhan Mesara yang disebut dengan Mulie yang diambil dari bahasa Jawa yakni Mulih yang berarti pulang.


IV. Pembagian Wilayah dan Penyebaran Penduduk di Sabu.
Pembagian wilayah ini terjadi pada masa Wai Waka (generasi*) ke 18). Pembagian ini dibuat berdasarkan jumlah anak-anaknya yang dibagikan. Pembagian tersebut adalah:
a. Dara Wai mendapat wilayah Habba (Seba)
b. Kole Wai mendapat wilayah Mehara (Mesara)
c. Wara Wai mendapat wilayah Liae.
d. Laki Wai mendapat wilayah Dimu (Timu).
e. Dida Wai mendapat wilayah Menia.
f. Jaka Wai mendapat wilayah Raijua.
Dari pembagian ini telah menyebakan terbentuknya komunitas genelogis-teritorial, dimana suatu rumpun keluarga terikat pada pemukiman tertentu.
Karena rumpun ini berkembang semakin besar maka dibentuk suatu sub-rumpun yang disebut Udu yang dikelpali oleh seorang Bangu Udu. Di Habba (Seba) terdapat 5 Udu yang nanti akan terbagi lagi menjadi Kerogo-kerogo.
5 Udu di Seba tersebut adalah:
1. Udu Nataga (terdiri dari 9 kerogo).
2. Udu Namata (terdiri dari 4 kerogo).
3. Udu Nahoro (terdiri dari 4 kerogo).
4. Udu Nahpu
5. Udu Naradi (kedua terakhir tidak terbagi dalam kerogo).
Di Sabu dan Raijua seluruhnya terdapat 43 Udu dan 104 kerogo.

V. Agama Suku & Hal-hal Menyangkut Ritual.

Sistim Kepercayaan.
Agama suku Sabu atau Agama Asli Sabu tidak diketahui namanya. Pada umunya orang menyebut agama suku Sabu dengan nama “jingitiu”, yang berasal dari kata “jingiti Au” yang diartikan atau ditafsir oleh para penginjil dan pendeta dahulu dengan nada lecehan yakni “jingi” artinya melanggar atau menolak, “ti” artinya dari dan “Au” artinya engkau (Tuhan). Jadi dapat diartikan secara harafiah bahwa Jingitiu adalah agama yang menolak Tuhan. Padahal nama ini adalah penyebutan yang berikan oleh penginjil Potugis yang datang ke Sabu pada Tahun 1625. Mereka menyebut dengan Gentios (kafir/ tidak mengenal tuhan). Yang menurut pelafalan orang Sabu adalah jingitiu. Hal tersebut dapat dilhat juga dalam penyebutan mereka terhadap agama suku di Belu yang dilafalkan oleh orang Belu dengan Dintiu.
Para Mone Ama (pimpinan agama suku) pada waktu itu menerima penyebutan tersebut karena ketidak mengertian mereka terhadap arti dari istilah/ penyebutan tersebut.
Beberapa hal mengenai sistim kepercayaan Agama Suku Sabu:
1. Orang Sabu Pecaya pada satu Zat Ilahi yang disapa dengan “Deo Ama” (Allah Bapa asal dari segala sesuatu), “Deo Woro Deo Pennji” (Tuhan pencipta semesta) atau “Deo Mone Ae” (Tuhan Maha Kuasa/ Maha Agung).
2. Segala ciptaan terdiri dari 2 unsur yang esensial, mengandung daya yang saling bertentangan, bergantungan, dan saling melengkapi. Contohnya laki-laki dan perempuan. Keduanya adalah setara dengan masing-masing fungsi yang saling melengkapi. Sehingga dalam kehidupan orang Sabu Laki-laki dan perempuan selalu dilihat sebagai suatu kesetaraan atau apa yang kenal sekarang dengan istilah “gender.”
3. Manusia harus selalu menjaga hubungan atau relasi yang baik dengan Tuhan. Jika hubungan itu baik maka disebut dengan “Meringgi” atau dingin yang mendatangkan damai sentosa, mengerru (hijau/ kesuburan) dan merede (kelimpahan). Tetapi sebaliknya dan bila terjadi kesalahan atau pelanggaran terhadap aturan atau tatanan yang ada akan mendatangkan hal-hal yang “Pana” (Panas) atau hal-hal yang berupa petaka, bencana.
4. Untuk menjaga Relasi yang harmonis antara Manusia dan Tuhan maka dalam tatanan kehidupan diatur juga tentang ritual-ritual keagaaman, hubungan kekerabatan dan hukum adat.

Tentang Nada
Nada adalah tempat beribadat bagi penganut agama suku Sabu (Agama Asli). Nada pertama didirikan Kika Ga di Kolo Marabbu (generasi 11, Miha Ngara). Nada perkembang menjadi dua, yang satu tetap di Merabbu, yang satu di Kolo Teriwu.
Pada masa Wai Waka (generasi 18) diadakan pembagian wilayah dan masing-masing wilayah didirikan Nada.
Pada masa Robo Aba (Generasi 24) terjadi perpindahan Nada dari Kolo Teriwu ke Namata. Tidak semua yang dipindahkan termasuk Eku (salah satu alat penting). Eku baru berhasil dibawa ke Namata pada masa Mata Lai (generasi 29). Dengan demikian lengkaplah sudah perlengkapan upacara bagi penduduk di wilayah Habba.
Dalam perkembangan disamping Nada di Namata ( Nada Ae Namata ) di bangun Nada di Rai Dana (Nada Ae Gurikebeu). Nada ini juga diurus oleh Mone Ama dari Namata.
a. Batu-batu (wowadu)di Nada Ae Namata, antara lain :
1. Wowadu Piga Hina ;
2. Wowadu Ngellu ;
3. Wowadu Lirru Bella ;
4. Wowadu Dahi Bella ;
5. Wowadu Lawarai (batu peringatan terhadap Hawu Miha di Teriwu;
6. Wowadu Kika Ga;
7. Wowadu Petti Ma Ratu Kaho, dan beberapa batu lainnya yang semuanya ada berjumlah 14 buah.
b. Batu-batu di Nada Ae Gurikeberu, antara lain:
1. Wowadu Ettu (batu Ulat);
2. Wowadu Lale Dahi (batu kiamat atau air bah);
3. Wowadu Lakati (batu penyakit cacar);
4. Wowadu Kolera (batu penyakit kolera);
5. Wowadu Heraba (batu penyakit serampa atau morbili); dan beberapa batu lain.
Perlu diingat bahwa batu dalam agama suku Sabu bukanlah sembahan tetapi merupakan sarana berupa mesbah untuk meletakkan korban persembahan bagi Deo.

Mone Ama (Majelis Adat & Agama).
Dalam tata kehidupan termasuk didalamnya dalam urusan pemerintahan, keagamaan diatur oleh sebuah sistim kemajelisan yang mempunyai fungsi masing-masing. Majelis ini disebut dengan Majelis Mone Ama. Bagi orang Sabu Agama dan Hukum Adat merupakan dasar bagi kehidupan mereka, naik dalam bidang sosial, ekonomi, kesenian. Sehingga segala aspek kehidupan tersebut harus mencerminkan totalitas yang serasi dengan agama (agama suku).
Di Habba pada mulanya Majelis Mone Ama ini cuma terdiri dari 4 orang (masa Roba Aba, genarasi 24) masing-masing adalah:
• Deo Rai
• Do Heleo.
• Rue.
• Pulodo.
Dari majelis ini, yang memimpin kemajelisan adalah yang memangku jabatan sebagai Deo Rai. Hal tersebut dapat dilihat dalam hal perlengkapan upacara serta urutan-urutan dalam pelaksanaan upacara.
Dalam perkembangannya dengan melihat kebutuhan dan permasalahan dalam masyarakat yang semakin kompleks maka jumlah Mone Ama juga bertambah. Di Habba berkembang menjadi 9 orang, yakni:
• Deo Rai.
Tugasnya sebagai pemimpin, penegak syarat agama dan adat serta menjalankan pemerintahan. Memimpin upacara yang bersangkutan dengan tugasnya antara lain; Puru Hogo, Baga Rae, Jelli Ma, Hanga Dimu, Daba, Banga Liwu, Hole. Selain itu juga ia bertugas dalam masalah tanah, paertanian (Kacang hijau) dan yang terakhir adalah tugasnya sebagai pemimpin upacara untuk memanggil hujan.
• Pulodo.
Tugasnya adalah masalah pertanian (padi), kesuburan tanah, kegiatan-kegiatan musim kemarau termasuk sabung ayam, mendampingi Deo Rai dalam upacara Puru Hogo dan upacara lainnya, berkoordinasi dengan Bengu Udu dalam urusan pemerintahan.
• Doheleo.
Mengawasi agar adat ditegakkan secara tertib dan teratur, melihat setiap peristiwa (bencana) yang terjadi karena pelanggaran adat. Memimpin upacara tyolak bala. Masalah pertanian (jagung Rote/ sorgum) serta urusan kesuburan tanah.
• Rue.
Melakukan upacara menghilangkan akibat dari perbuatan haram (tolak bala). Menyelesaikan bencana alam, hama dan wabah penyakit.
• Latia
Memimpin upacara pentahiran yang bersangkutan dengan korban manusia, tanaman dan rumah yang terbakar.
• Bakka Pahi.
Memimpin upacara pentahiran yang bersangkutan dengan korban manusia, tanaman dan rumah akan tetapi tidak terbakar.
• Maukia.
Menangani segala urusan menyangkut peperangan. Menangani apa yang bersangkutan dnega barang-barang yang bersifat haram dari luar, lewat upacara memuat dalam suatu perahu dan dihanyutkan ke laut.
• Kenuhe.
Pada waktu perang dan ada musuh yang terbunuh maka tuganyalah untuk memangku mayat sementara upacara berlangsung.
• Tutudalu.
Setiap mayat dalam pangkuan Kenuhe dikuliti kulit kepala dan ditanam dalam nada dan hal ini dilakukan oleh Tutudalu.

Kalender Adat dan Upacara menurut Siklus Kehidupan Orang Sabu.
Tidak ada satupun aktivitas hidup orang Sabu selama satu tahun kalender yang dapat terpisah dari kehidupan keagamaan. Pola ini ini didasarkan atas 9 amanat Deo Ama, yakni:
• Puru Hogo
• Baga Rae
• Jelli Ma
• Hanga Dimu
• Daba • Banga Liwu
• Hole
• Hapo
• Made

Hal tersebut merupakan syarat agama sekaligus merupakan adat orang Sabu, terutama bagi mereka masih menganut agama asli.
Dalam penyelenggaraan pemenuhan 9 amanat ini maka pelaksanaannya tidak telepas kaitannya dengan kalender kegiatan tahunan. Adapun kalender Tahunan tersebut adalah:

1. Kelila Wadu (Jul-Agust)
2. Tunu Manu (Agust-Sept)
3. Bagarae (Sept-Okt)
4. Ko’o Ma (Okt-Nov)
5. Naiki Kebui (Nov-Des)
6. Wila Kolo (Des-Jan) 7. Hanga Dimu (Jan-Ferb)
8. Daba Akki (Ferb-Mart)
9. Daba Ae (Mart-April)
10. Banga Liwu (April-Mei)
11. A’a (Mei-Juni)
12. Ari (Juni-Juli)

Pelaksanaan 9 Amanat Deo:
• Puru Hogo; diadakan pada bulan Kelila Wadu, saat akan dimulainya kegiatan iris tuak & dan masak gula yang merupakan salah satu bahan makanan pokok orang Sabu.
• Baga Rae; diadakan pada akhir bulan Baga Rae, dengan tujuan;
Sebagai tanda akhir dari kegiatan iris tuak dan masak gula.
Menyumbat mulut tanah agar jangan menelan korban.
Mengecek tentang curah hujan pada musim penghujan yang akan datang.
Memagari daerah agar terhindar dari musuh dan malapetaka.
Mempererat tali persaudaraan antara warga udu dan kerogo.
• Jelli Ma; diadakan pada bulan Ko’o Ma sebagai upacara membersihkan kebun.
• Hanga Dimu; diadakan pada bulan Hanga Dimu, yakni Deo Rai dan Pululodo memulai panen Kacang Hijau dilanjutkan dengan acara Nga’a Hanga Dimu. Setelah itu baru warga boleh memulai panen kacang hijau.
• Daba; dalam daur hidup dikenal tahap; lahir (metana), pemberian nama (pe wie ngara), hapo (pengakuan tentang sahnya anak), daba (baptis), leko wue (belajar memakai pakaian), bagga (sunat) , potong gigi dan perkawinan (peloko nga’a) serta kematian (made).
Daba merupakan rangkaian acara yang dilaksanakan pada hari ketiga setelah panen sorgum dan pesta pado’a. Daba diadakan pada bulan Daba Akki.
• Banga Liwu; diadakan pada bulan Banga Liwu (malam ke 9 dari bulan baru). Dalam rangkai upacara tersebut bertujuan untuk:
Mendinginkan obyek-obyek seperti kebun kapas, kebun kelapa, pinang dan kandang ternak.
Penghormatan terhadap arwah leluhur dengan membawa sirih pinang ke pekuburan leluhur dan malamnya diadakan “Pe-do’a bui ihi”.
• Hole; dilakukan pada hari ke 7 setelah purnama pada bulan Banga Liwu. Salah satu tujuannya adalah melepaskan celaka ke laut serta menutup mulut laut agar hasil yang dari darat jangan terhisap atau tertelan ke dalam laut. Atau dapat dikatakan dengan istilah buang sial.
• Hapo; merupakan acara pengakuan terhadap anak yang dilahirkan.
• Made; upacara yang bersangkutan dengan kematian.

VI. Penutup.
Dan dari hal-hal yang tersebut diatas maka saya ingin menyampaikan tentang beberapa hal untuk bagian akhir dari tulisan ini bahwa saya sangat tidak sependapat dengan penyebutan jingitiu bagi Agama Suku Sabu. Penyebutan tersebut merupakan penyalahan arti dan merupakan penghinaan bagi orang Sabu serta menujukkan ketidak tahuan atau kurang mengertinya orang tentang tatanan kehidupan, adat istiadat dan Sistem kepercayaan orang Sabu. Saya lebih setuju dengan pendapat dari:
1. Pdt. Victor I. Tanya, PhD, yakni: Melihat pada kenyataan bahwa sebagian besar penduduk di Tanah Air kita yang belum menganut salah satu agama tidak dapat begitu saja digolongkan sebagai orang yang tidak ber-Tuhan atau kafir. Dalam kepercayaan yang beragam di muka bumi persada kita, kesemua pemeluknya mempunyai kesadaran, kepercayaan dan praktek-praktek beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Perlu diingat bahwa apa yang disebut dengan Politeisme (menyembah Allah yang Banyak) sebenarnya tidak ada tetapi cuma karena ada kesalah pahaman tentang Zat Ilahi yang satu yang menampakkan wujudnya dalam berbagai bentuk. Agama-agama sukupun tidak politeisme namun monoteisme. Sehingga sungguh adil bila kepercayaan-kepercayaan tersebut diberikan kedudukan hukum, sosial dan politik yang sama dengan agama lain.

2. Pdt. DR. Eka Darma Putra, dalam artikelnya berjudul “Inter-Relationship Among Religious Group In Indonesia”. Dalam karangan tersebut mengangkat beberapa renungan bagi kita: Apakah kita adalah saksi dari Kristus ataukah saksi dari Agama Kristen? (Kisah 1:18). Kalau kita saksi dari Kristus, maka hendaknya kita renungkan bahwa Allah yang diperkenalkan oleh Yesus adalah bukan Allah dari suatu agama tertentu, Allah yang hanya disembah secara ekslusif melalui ritus tertentu pada tempat tertentu? Bukankah Yesus telah merelatifkan klaim yang bersifat absolut dan ekslusif dari satu agama tertentu? (Yoh 4:21-23 & Mat 7: 21- 23) Apakah yang paling penting bagi Yesus, ajaran dan kata-kata yang indah ataukah perbuatan yang sesuai dengan kehendak Allah. Atau yang lebih tegas yang diambil dari bacaan Kisah 24:14 yakni bahwa: Apakah yang dimaksudkan dengan agama Kristen dan para pengikutnya yang percaya kepada Yesus yang adalah Jalan kepada Tuhan, ataukah yang dimaksudkan Yesus pada bacaan itu adalah bukan agama yang benar, melainkan Jalan yang benar yang dimaksudkan oleh Yesus yaitu Dirinya sendiri?

Dengan demikian seiring dengan hal tersebut maka kita selalu diingatkan agar kita jangan mudah untuk mencela agama atau kepercayaan lain termasuk agama suku. Tapi marilah kita selalu mengemban tugas yang telah dimandatkan kepada kita sebagai saksi Kristus.

BUDAYASABU

BUDAYA SABU
KEADAAN UMUM

Pulau Sabu atau Rai Hawu adalah bagian Kabupaten Kupang. Merupakan pulau terpencil dengan luas 460,78 km persegi berpenduduk sekitar 30.000 jiwa dengan sifat mobilitas tinggi. Karena itu penyebarannya keseluruh Nusa Tenggara Timur cukup menyolok. Dari Kabupaten Kupang Pulau tersebut dapat dijangkau dengan kapal laut selama 12 jam berlayar atau 45 menit dengan pesawat

PELAPISAN SOSIAL
Legenda menuturkan, nenek moyang orang Sabu datang dari seberang yang disebut Bou dakka ti dara dahi, agati kolo rai ahhu rai panr hu ude kolo robo. Artinya, orang yang datang dari laut, dari tempat jauh sekali, lalu bermukim dipulau Sabu. Orang pertama adalah Kika Ga dan kakanya Hawu Ga. Keturunan Kika Ga inilah yang disebut orang Sabu (Do Hawu) yang ada sekarang. Nama Rai Hawu atau pulau Sabu berasal dari nama Hawu Ga, salah satu leluhur mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat suku Sabu hidup dalam kekerabatan keluarga batih (Ayah, ibu dan anak) disebut Hewue dara ammu.

Beberapa batih yag bersekutu dalam suatu upacara adat adalah keluarga luas, huwue kaba gatti, dengan memiliki rumah adat sendiri berketurunan satu nenk atau Heidau Appu. Klen kecil disebut Hewue Kerogo, merupakan gabungan beberapa Udu Dara Ammu. Keturunan dua atau tiga nenek bersaudara, beserta cucu dan keturunannya dipimpin Kattu Kerogo. Klen besar disebit Hewue Udu dipimpin oleh banggu Udu.Secara struktural dalam strata masyarakat dikenal kedudukan tertinggi Hewue Dara Ammu dengan pimpinannya Kattu Udu Dara Ammu yang memimpin upacara, mengatur norma kehidupan, menjaga kesatuan dan persatuan keluarga. Ia pemimpin yang pandai dan bijaksana berperan penting dalam kehidupan masyarakat.


Kemudian ada hewue Kerogo dipimpin Kattu Kerogo yang mengatur kehidupan Kerogo. Mereka berhak menyatakan pendapat dan hak pakai atas tanah milik Kerogo. Kemudian Hewue Adu dipimpin Banggu Adu mengatur hak pakai tanah untuk Ana Udu karena mempunyai hak ulayat. Setiap penggarapan tanah oleh anggota Udu harus diketahui Banggu Udu. Mereka (Udu) juga tidak dikenakan Ihi Rai, sejenis Upeti yakni sebagian hasil panen diberikan kepada Banggu Udu sebagai tanda mengakui menggarap tanah milik orang lain.
Anggota-anggota Udu harus taat kepada Banggu Udu terutama dalam hal bergotong royong. Banggu Udu akan segera turun tangan jika ada yang tidak ikut serta atau melawan tanpa alasan.

MATA PENCAHARIAN

Kehidupan mereka terutama tergantung dari lahan pertanian kering, beternak, menangkap ikan, melakukan kerajinan dan berdagang serta membuat gula Sabu dari Nira lontar. Semuanya tidak dikerjakan secara terpisah. Seorang petanji mengerjakan juga pekerjaan lainnya, karena mereka memiliki kalender kerja yang bertumupu pada adat. Semuanya dikerjakan secara tradisional seperti menangkap ikan dengan lukah, bubuh, jala, pukat dan pancing.

Kerajinan yang menonjol adalah tenun ikat dengan warna dasar cerah, dan menganyam daunp pandan. Semua pekerjaan ini hampir tidak bernilai komersial karena masih untuk kebutuhan sendiri, seperti halnya membuat gula Sabu sejenis gula Rote, yang menjadi makanan utama. Namun perkembangan jaman menyebabkan mereka juga menanam tanaman perdagangan seperti bawang merah dan kacang tanah untuk dipasarka. Kacang tanah berkulit yang digoreng bersama pasir, merupakan kekhasan mereka sebagai makanan kecil diwaktu senggang.

Cara bertanam masih sangat tradisonal dengan melepaskan ternak tanpa kandang. Jumlah ternak justru menunjukkan status sosial seseorang. Hewan/ternak piaraan lebih berfungsi sosial ketimbang bernilai ekonomi terutama kuda, kerbau dan domba/kambing. Ternak ini sering menjadi pemenuhan kebutuhan upacara adat seperti kalahiran, perkawinan dan kematian, termasuk untuk upacara sakral, magis religius.

SISTEM KEPERCAYAAN

Masyarakat Sabu menganut agama asli jingitiu sebelum agama kristen. Kini 80 % mastyarakat Sabu beragama kristen protestan. Walaupun begitu, pola pikir mereka masih didukung jingitu. Norma kepercayaan mereka masih tetap berlaku dengan kelender adat yang menentukan saat menanam dan upacara lainnya.
Norma kepercayaan asli masih menerapkan ketentuan hidup adat atau uku, yang konon dipercayai mengatur seluruh kehidupan manusia dan berasal dari leluhur mereka. Semua yang ada dibmi ini Rai Wawa (tanah bawah) berasal dari Deo Ama atau Deo moro dee penyi (dewa mengumpulkan membentuk mancipta). Deo Ama sangat dihormati sekaligus ditakuti, penuh misteri. Menurut kepercayaan itu dibawah Deo Ama terdapat berbagai roh yang mengatur kegiatan musim seperti kemarau oleh Pulodo Wadu, musim hujan oleh Deo Rai.

Pembersihan setelah ada pelanggaran harus dilakukan melalui Ruwe, sementara Deo Heleo merupakan dewa pengawas supervisi. Upacara adat yang dilakukan harus oleh deo Pahami, orang yang dilantik dan diurapi. Upacara dilakukan dengan sajian pemotongan hewan besar. Kegiatan setiap upacara berpusat pada pokok kehidupan yakni pertanian, peternakan dan penggarapan laut. Karena itu selalu ada dewa atau tokoh gaib untuk semua kegiatan, termasuk menyadap nira. Kegiatan pada musim hujan berfungsi pada tokoh dewa wanita “Putri Agung”, Banni Ae, disamping dewa pemberi kesuburan dan kehijauan Deo manguru. Karena sangat bergantung pada iklim maka mereka memiliki tiga makluk gaib yakni liru balla (langit), rai balla (bumi) dan dahi balla (laut). Masyarakat Sabu juga emiliki pembawa hujan yaitu angin barat : wa lole, selatan : lou lole dari Timur: dimu lole. Begitu banyak dewa atau tokoh gaib sampai hal yang sekecil-kecilnya seperti petir dan awan. Begitu juga pada usaha penyadapan nira, ada dewa mayang, dewa penjaga wadah penampung (haik) malah sampai haba hawu dan jiwa hode yang menjaga kayu bakar agar cukup untuk memasak gula Sabu.

Kampung masyarakat Sabu memiliki Uli rae, penjaga kampung, kemudi kampung bagian dalam gerbang Timur (maki rae) disebelahnya, serta aji rae dan tiba rae, (penangkiskampung) sama-sama melindungi kampung.

Oleh karena itu setiap rumah dibangun harus dengan upacara untuk memberi semangat atau hamanga dengan ungkapan wie we worara webahi (jadikanlah seperti tembaga besi. Dalam setiap rumah diusahakan tempat upacara yang dilakukan sesuai musim dan kebutuhan, karena semua warga rumah yang sudah meninggal menjadi deo ama deo apu (dewa bapak dewa leluhur) diundang makan sesajen. Demikian juga terhadap ternak, selalu ada dewa penjaga, disebut deo pada untuk kambing serta dewa mone bala untuk gembalanya. Tetapi selalu ada saja lawannya. Karena itu, ada dewa perussak yang kebetulan tinggal dilat yakni wango dan merupakan asal dari segala macam penyakit. Hama tanaman, angin ribut dan segala bencana.

Karena itu, kepadanya harus dibuat upacara khusus untuk mengembalikannya ke laut supaya masyarakat terhindar dari berbagai bencana walaupun ada kepercayaan bahwa sebagai musibah itu merupakan kesalahanmanusia sendiri yang lalai membuat upacara adat. Umpamanya jika tidak membuat upacara untuk sang banni ae, maka sang putri ini akan memeras payudaranya yang menimpa manusia menimbulkan penyakit cacar.

BAHASA PERGAULAN
Pulau Sabu secara pemerintahan termasuk Kabupaten Kupang, namun dalam pembagian wilayah pesebarannya, bahasa sabu termasuk kelompok bahasa Bima – Sumba. Bahasa Sabu mencakup dialek Raijua (di pulau Raijua). Dialek Mesara, Timu dan seba.

SENI DALAM MASYARAKAT SABU

Kesenian yang paling menonjol adalah seni tari dan tenun ikat. Seni tari antara lain padoa dan ledo hau. Padoa ditarikan pria dan wanita sambil bergandengan tangan, berderet melingkar, menggerakkan kaki searah jarum jam, dihentakkan sesuai irama tertentu menurut nyanyian meno pejo, diiringi pedue yang diikat pada pergelangan kaki para penari. Pedue ialah anyaman daun lontar berbentuk ketupat yang diisi kacang hijau secukupnya sehingga menimbulkan suara sesuai irama kaki yang dihentak-hentakkan. Ledo Hau dilakukan berpasangan pria dan wanita diiringi gong dan tambur serta giring-giring pada kaki pria. Hentakan kaki, lenggang dan pandangan merupakan gerakan utama. Gerakan lain dalam tarian ini ialah gerakan para pria yang saling memotong dengan klewang yang menjadi perlengkapan tari para pria.

Tenun ikat mereka yang terkenal adalah si hawu (sarung sabu) dan higi huri (selimut). Mereka melakukan semua proses seperti umumnya di Nusa Tengggara Timur. Benang direntangkan pada langa (kayu perentang khusus) supaya mudah mengikatnya sesuai motif, setelah dilumuri lilin. Pencelupan dilakukan dengan empat warna dasar yakni biru pekat dan hitam, diperoleh ramuannya dari nila, merah dari mengkudu dan kuning dari kunyit.
Motif yang dikenal antara lain flora dan fauna serta motif geometris. Setelah itu benang tersebut direntangkan kembali pada langamane (alat tenun) untuk memulai proses tenun.

GULA SABU

Tidak semua orang di daerah lain di luar NTT tahu dan ngerti apa itu Gula Sabu ..
Aku pernah search lewat Google dengan kata kunci Gula Sabu dan hasilnya minim sekali , yang muncul di hasil searching malah Sabu-sabu .. he..he.. lucu memang Gula Sabu bukan jenis psikotropika khan ..
Gula Sabu merupakan panganan khas Pulau Sabu yang sangat unik dan bermanfaat . Kenapa begitu ? Sepintas kayaknya aneh kalau disebut unik karena seperti kebanyakan jenis Gula yang diolah dari pohon enau / tuak / kelapa , semuanya pasti mirip dan bisa ditemui di hampir semua daerah di seantero Kepulauan Nusantara. Yang menjadukannya unik adalah Gulanya tidak dibuat sampai berbentuk Padat melainkan diolah sampai berbentuk cair saja. Sepintas , Gula sabu kelihatan seperti Madu ,tetapi jika dicermati lebih seksama strukturnya lebih kental. Gula Sabu merupakan hasil olahan pertanian mayoritas penduduk Pulau Sabu dan Raijua. Hal ini tidaklah aneh karena Pohon Tuak sebagai sumber nira ( bahan baku pembuatan Gula Sabu ) bertebaran merata di setiap sudut Pulau itu. Gula Sabu bahasa sabunya 'Donahu' kalau lengkapnya 'Donahu Hawu'.
Bagi Orang Sabu , Gula Sabu adalah panganan utama selain beras dan jagung yg melengkapi keseharian mereka ditengah kondisi geografis Pulau Sabu yang rawan kekeringan . Jika terjadi gagal panen pada tanaman palawija dan stok makanan menipis , maka Gula Sabu juga dipakai sebagai panganan untuk survive.
Gimana sih cara mencicipi Gula Sabu ? Gampang , hanya disendok atau diambil menggunakan jari, kemudian diputer2 sejenak sampai tidak menetes lagi terus happpp ..di telan deh ... jangan lupa setalah itu minum air yang banyak .. dijamin pasti kenyang ... Hebatkan Gula Sabu, hanya dengan beberapa sendok saja bisa menghilangkan rasa lapar.
Cara lain mencicipi nikmatnya Gula Sabu adalah dengan membuatnya dalam bentuk minuman , cukup tuangkan air dan gula kedalam cangkir ( mug ) terus diaduk dan diminum seperti minum teh . Kalau aku sih suka cara yang ke dua .. lebih maknyus...he..he..
Selain sebagai pengilang rasa lapar , berdasarkan pengalaman saya , Gula Sabu bisa dimanfaatkan sebagai obat penghilang panas dalam dan juga penghilang rasa pering di lambung akibat sakit magh. Selain ke dua cara penyajian tersebut , Gula Sabu juga bisa dicampurkan dengan bahan - bahan lain untuk dibuat jenis panganan yang lain.
Sebagai bahan yang bermanfaat , Gula Sabu juga memiliki nilai jual yang lumayan
menjanjikan. Sejak aku kecil , saudara-saudara ku sering datang dari Sabu ke Ende untuk berdagang Gula Sabu. Harganya cukup bersaing dengan produk olahan lainnya.
Demikian sekilas ulasan tentang Gula Sabu , semoga bisa memberikan sedikit pencerahan bagi yang belum tahu tentang Gula Sabu dan juga mengembalikan memori tentang citarasa Gula Sabu bagi Orang Sabu yang ada di perantauan ..he..he..( aku aja sudah 5 tahun ngga pernah merasakan nikmatnya minum gula Sabu ).
Saking berperannya Gula Sabu dalam kehidupan Orang Sabu hingga ada lagu Sabu yg endingnya gini "Bh'ole be'lo rai di rai hawu , rai due donahu" artinya 'jangan rupa tanah kita tanah sabu, tanah tuak dan gula"